dilihat dari budaaya batiknya:
Dari segi warna batik Surakarta memiliki latar dominan adalah sogan atau coklat kekuningan. Sedangkan batik Yogyakarta mempunyai latar warna yang gelap atau hitam dan terang putih dengan ornamen coklat atau indigo.
Pada pemakaiannya mode fashion batik Surakarta cenderung terbuka dan uniseks. Sedangkan batik Yogyakarta diatur dalam berbagai tingkatan. Sedangkan pada ‘motif larangan’nya berbeda, motif larangan pada batik Surakarta diantaranya udan riris, modang, dan cemungkiran. Sedangkan pada batik Yogyakarta memiliki beberapa motif diantaranya sawat, gurdo, dan parang gurdo. S
Menu
Wednesday, 14 May 2014
Thursday, 8 May 2014
Green Care penanaman di Jalur Lintas Selatan
Green Care penanaman di Jalur Lintas Selatan
Beberapa
waktu yang lalu, green care volunteer kembali melakukan penghijauan di daerah
Jalur Lintas Selatan(JLS). Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari penanaman
1500 bibit yang telah dilakukan sekitar 3 tahun yang lalu dalam rangka
merealisasikan penanaman sejuta pohon. Dan kali ini, Green Care Volunteer
menyulami (mengganti tanaman yang mati) tanaman disana.dalam jangka waktu 3
tahun, ada sekitar 300 bibit yang harus diganti karena tidak mampu bertahan hidup.
Well,
terima kasih kepada dinas perhutani yang telah bersedia menyediakan bibit untuk
kegiatan ini. Jika program ini terus berlanjut, maka bersiaplah kader Green
Care berikutnya untuk merawat tanaman-tanaman ini dengan penuh kasih sayang.
Tidak bisa
dipungkiri, jika tanaman akan tumbuh dengan baik jika kita menyayangi mereka
dengan sepenuh hati. So, buat seluruh warga SMATA, tetaplah melakukan kegiatan
peduli lingkungan karena kita sebgai warga sekolah yang sudah mencapai tingkat
adiwiyata mandiri, wajib menjadi duta lingkungan. Lupakan hal-hal besar.
Mulailah dari diri sendiri dengan membuang sampah pada tempatnya, mengurangi
penggunaan hair dryer dan kendaraan bermotor. Jangan lupa untuk mengurangi
sampah plastik agar anak cucu kita kelas juga bisa merasakan betapa nikmatnya
tanah jawa yang subur ini. Dan jangan menghambur-hamburkan SDA untuk hal-hal
yang tidak berguna. Mungkin bagi kita yang hidup pada masa sekarang, setets air
tidak berarti apa-apa karena kita punya cukup persediaan, tapi bagaimana dengan
10 tahun kedepan jika kita tidak memperdulikan lingkungan?
Jangan
berharap kita masih bisa menghirup udara segar dipagi hari jika saat ini kita
tidak peduli dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Let’s start keep
our land from global warming and try to learn our child about tree, land, water
and fresh air. Untuk semua kader Green Care Volunteer, tetap laksanakanlah
tugas kalian di kader masing-masing. Tetapkan pada hati kalian perasaan cinta
pada lingkungan sekitar dan tularkan perasaan itu pada orang-orang disekitar
kalian. Go Green….
By: Wulan_XI-IPA 2
BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada
guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya,
karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi
nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia
baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. Maaf Bapak dari mana?
Dari Indonesia,jawab saya.
Dia pun tersenyum.
BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
Saya mengerti, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini, lanjutnya. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Dia pun melanjutkan argumentasinya.
Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai A, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut menelan mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan, ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan gurunya salah. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas Kalau Nanti dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. Maaf Bapak dari mana?
Dari Indonesia,jawab saya.
Dia pun tersenyum.
BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
Saya mengerti, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini, lanjutnya. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Dia pun melanjutkan argumentasinya.
Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai A, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut menelan mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan, ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan gurunya salah. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas Kalau Nanti dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
#Copas dari Copasan
Dari
tulisan diatas, marilah kita berfikir. Ada berapa pengajar yang benar-benar
menyelami kondisi murid? Melihat dari sudut pandang seorang siswa bukan sudut
pandang dari seorang guru? Jadi, jangan hanya menyalahkan murid jika
terus-terusan mendapat nilai buruk. Jangan jadikan nilai sebagai patokan
standard, seorang murid telah mencapai titik dimana dia berhasil memahami
kompetensi yang diujikan. Sekali lagi, cobalah untuk melihat dari sudut pandang
murid. Karena, apa yang menurut guru mudah belum tentu mudah bagi seorang
murid. Apa yang mudah bagi murid yang satu, belum tentu mudah bagi murid yang
lain. Kemampuan seseorang dalam berfikir itu berbeda-beda. Demikian pula dalam
kecepatan menyerap pelajaran. Jika seorang guru menjadikan beberapa murid yang
memang pandai sebgai patokan apakah kelas tersebut sudah mengerti atau belum,
tentu hal tersebut akan sangat merugikan bagi murid yang memiliki kapasitas
otak dibawah rata-rata. Saya yakin, jika seorang guru besar sekalipun juga
pernah menjadi seorang murid. Seorang guru yang baik, adalah guru yang menolong
muridnya saat menemui kesulitan. I’m sure that we are know about that.
Tapi,
sebagai seorang murid, ijinkanlah saya mengemukakan pendapat. Saya pernah
menjumpai sebuah pertanyaan di facebook yang diajukan oleh akun sampoerna
foundation tentang system pendidikan di Indonesia.Jujur, saya senang mendapat
pertanyaan seperti itu. Saya langsung menjawab “ system pendidikan di Indonesia
yang mengedepankan nilai menurut saya sangat salah. Guru bukanlah penilai, tapi
seseorang yang menjadi fasilisator. Mereka memiliki kewajiban untuk mengajarkan
seorang murid tentang apa yang belum dimengerti oleh murid, juga wajib untuk
menjawab apapun yang ditanyakan oleh murid. Sebenarnya, system pendidikan yang
menjadikan nilai sebagai tujuan utama, bagi saya sangatlah perlu untuk dirubah.
Siswa menjadi lupa dengan tujuan awalnya belajar. Yang mereka pikirkan saat ini
hanyalah bagaimana caranya mendapat nilai baik tanpa peduli bagaimana caranya.
Hal ini sangatlah berefek buruk bagi kaum pelajar karena saya sendiri juga ikut
merasakan bagaimana tertekannya seorang pelajar ketika mereka harus dituntut
agar bisa mendapatkan nilai baik saat ujian berlangsung.”
Saya
tidak mengatakan jika system pendidikan Indonesia buruk, hanya saja pandangan
terhadap nilai itu harus dirubah. Tidak selamanya siswa yang selalu mendapat
nilai sempurna akan sukses di masa depannya kelak. Begitu juga sebaliknya.
Sudah saatnya, jika kebiasaan menabur ancaman yang sering dilancarkan oleh para
guru dihentikan untuk masa depan murid yang lebih baik. (^_^)v
By: Wulan_XI-IPA2
Bendera Partai atau Bendera Merah Putih?
Bendera Partai atau
Bendera Merah Putih?
"Relakah engkau
ketika sepanjang jalan di negerimu ini lebih banyak dipenuhi deretan bendera
partai daripada bendera dwi warna sang saka merah putih ?”
Kata-kata
diatas adalah sebuah status seseorang yang saya ambil dari Facebook. Menarik
menurut saya untuk dibahas. Sebagaimana yang kita ketahui, tidak ada jalan yang
bersih dari bendera partai. Bahkan, gang-gang kecilpun menjadi sasaran untuk
kampanye. Miris jika pikirkan, betapa seringnya kita melihat bendera partai
terpajang dimana-mana tapi betapa jarangnya kita lihat Sang Dwi Warna terpajang
dimana-mana?
Salahkah
jika saya mengatakan jika Bendera Merah Putih saat ini hanya dikibarkan jika
menjelang hari kemerdekaan saja? Bahkan jika ada kunjungan pejabat pemerintahan,
yang dikibarkan bukanlah bendera merah putih, tapi umbul-umbul. Ada yang paling
mambuat saya geregetan, yaitu saat saya jalan-jalan, saya menemui sebuah kantor
yang diberi nama pusat bantuan N.K.RI kalau tidak salah dan itu adalah milik
salah satu partai papan atas di Indonesia, tapi betapa mirisnya saat saya
perhatikan dengan seksama tidak ada Sang Dwi Warna yang menghiasi kantor
tersebut.
Jika
saat ini saja bendera merah putih sudah mulai jarang dikibarkan, bagaimana
dengan tahun-tahun yang akan datang? Jika dulu perayaan Kemerdekaan Indonesia
selalu dirayakan dengan meriah disetiap kampung, sekarang ini sudah mulai
jarang dirayakan. Namun, jika perayaan hari ulang tahun sebuah partai politik
selalu dirayakan dengan sangat meriah.
Kembali
pada jalan, bagi saya pribadi, yang menjadi masalah bukan hanya karena
pengibaran bendera partai yang berlebih hingga tidak mengibarkan bendera merah
putih. Lebih dari itu, pemasangan bendera partai ataupun gambar-gambar Caleg
disepanjang jalan bagi saya sangat tidak berperi-ketumbuhan-an. Kenapa? Karena
mereka memasang dengan cara memaku di pohon-pohon besar tanpa berfikir apa yang
dirasakan si pohon jika dipaku seperti itu. Apalagi, dalam sebuah pohon bisa
jadi ada lebih dari satu gambar-gambar caleg ataupun bendera partai. Jika belum
menjadi anggota legislatif saja mereka sudah tidak memperdulikan lingkungan,
apalagi jika sudah menjadi anggota legislatif ?
Kalau
sudah begini siapa yang salah? Tidak adakah UU yang memuat tentang pelarangan
menyakiti tumbuhan dengan gambar-gambar caleg ? Silahkan dijawab sendiri.
Tuesday, 6 May 2014
laporan praktikum fisika
Laporan Praktikum
Fisika
Tegangan Permukaan
Oleh:
1.
Roziatul Khoiriah
2.
Wulan agustri ayu
I.
Teori
Tegangan permukaan zat cair
adalah kecendrungan permukaan zat cair untuk menegang sehingga permukaannya
seperti ditutupi oleh suatu lapisan elastis.Tegangan permukaan zat cair terjadi
karena adanya
kohesi di bawah zat cair yang lebih besar dari pada kohesi dipermukaan zat
cair, sehingga permukaan air
akan cendrung mengerut dan membentuk luas permukaan sekecil mungkin.Tegangan permukaan (γ) didefinisikan sebagai perbandingan
antara gaya tegangan permukaan (F) dan panjang permukaan (L) dimana gaya itu
bekerja.
II.
Alat
dan Bahan
1.
Jarum
2.
Kertas tisu
3.
Gelas
4.
Air
III.
Langkah
Kerja
1.
Siapkan
alat dan bahan
2.
Secara perlahan
masukkan tisu dan jarum, dengan posisi jarum berada diatas tisu
3.
Lama kelamaan,
tisu akan tenggelam. Namun jarum akan tetap berada diatas permukaan air.
IV.
Analisis data
Mari
kita amati sebatang jarum yang kita buat terapung di permukaan air sebagai
benda yang mengalami tegangan permukaan. Tegangan permukaan disebabkan oleh
interaksi molekul-molekul zat cair dipermukaan zat cair. Di bagian dalam cairan
sebuah molekul dikelilingi oleh molekul lain disekitarnya, tetapi di permukaan
cairan tidak ada molekul lain dibagian atas molekul cairan itu. Hal ini
menyebabkan timbulnya gaya pemulih yang menarik molekul apabila molekul itu
dinaikan menjauhi permukaan, oleh molekul yang ada di bagian bawah permukaan
cairan. Sebaliknya jika molekul di permukaan cairan ditekan, dalam hal ini
diberi jarum, molekul bagian bawah permukaan akan memberikan gaya pemulih yang
arahnya ke atas, sehingga gaya pemulih ke atas ini dapat menopang jarum tetap
di permukaan air tanpa tenggelam.Gaya ke atas untuk menopang jarum agar tidak
tenggelam merupakan perkalian koefisien tegangan permukaan dengan dua kali
panjang jarum. Panjang jarum disini adalah permukaan yang bersentuhan dengan
zat cair.Gaya yang diperlukan untuk mengangkat jarum adalah gaya ke atas
dijumlah gaya berat jarum (mg).
Subscribe to:
Posts (Atom)