![]() |
Het Kasteel van Batavia karya Andries Beeckman |
Menarik untuk diamati betap cepat gairah (tentang seni lukis) itu beralih ke Hindia. Pada tahun 1602, Belanda menghadiahkan kepada raja Kandi (di Srilanka) sebuah lukisan besar yang menggambarkan pertempuran Niieuwpoort, dengan latar depan sosok Pangeran Maurits yang sedang menunggang kuda dalam ukuran sama dengan yang sebenarnya. Pada tahun 1629, pemandangan pelabuhan Amsterdam dihadiahkan pula kepada Sultan Palembang. VOC ternyata tidak hanya memberikan hadiah. Ada kalanya perusahaan ini berusaha menjual juga. C.R. Boxer yang menulis anekdot – anekdot ini menceritakan bagaimana Syah Persia enggan membeli lukisan perang laut karya Heemskerk. Lukisan – lukisan berukuran kecil, di samping cermin dan senjata api, termasuk di antara produk ekspor yang pertama. Dalam daftar warisan bangsawan Prancis Isaac de Saint-Martin, asal Pau, yang meninggal pada tahun 1696 di Batavia, disebutkan 85 buah lukisan besar dan kecil, serta sebuah potret dirinya.
Diperkirakan bahwa alam
khatulistiwa yang kaya akan menggairahkan pelukis – pelukis Belanda, dan
mungkin saja demikian. Namun sayang bahwa kita tidak menyimpan peninggalan dari
abad ke-17 dan ke-18, dan tak satu pun yang berarti bila dibandingkan dengan
karya Frans Post dan Albert Eckhout yang masyhur di Brasl, ketika Comte Jean
Maurice menjabat sebagai gubernur (1637- 1644). Selain karya grafis J.W.Heydt,
yang ia terbitkan pada tahun 1744 di Franconie, dan gambar – gambar buatan
J.Rach (meninggal pada tahun 1783) yang diterbitkan oleh Bataviaasch
Genootschap pada tahun 1928, yang tersisa hanya seperangkat potret gubernur
jenderal dan beberapa lukisan cat minyak (a.l Pemandangan Batavia) karya
Andries Beeckman, yang dipamerkan di Museum Fatahillah. Beberapa ilustrasi yang
terdapat dalam karya – karya De Bruin dan Valentijn mungkin merupakan salinan
dari lukisan – lukisan yang kini telah hilang. Bagaimanapun, kita tidak mempunyai
bukti adanya pengaruh atas lukisan Jawa sebelum abad ke -19.
Dahulu, lukisan Jawa memang ada,
namun lebih dari lukisan awal zaman penjajahan, sayangnya lukisan Jawa itu
telah lenyap sama sekali. Sedikit sekali kita ketahui melalui fragmen – fragmen
wayang beber yang sampai kepada kita dan melalui lukisan tradisional Bali yang
bertahan lebih lama. Wayang beber sebenarnya dapat dikatakan merupakan nenek
moyang komik dan terdiri atas serangkaian gambar yang dilukis pada gulungan
kertas dan melukiskan secara berurutan episode – episode sebuah cerita. Wayang beber
dipertunjukkan dengan mengomentari gambar demi gambar dengan iringan gamelan. Adanya
seni tersebut untuk pertama kali dilaporkan pada awal abad ke-15 oleh Ma-Huan,
yang menyertai laksamana Zheng He dalam berbagai ekspedisi lautnya. Kini yang
tertinggal hanyalah dua buah wayang beber di seluruh tanah Jawa, satu di
Pacitan, kota kecil di pantai Selatan, yang lain di sebuah desa tak jauh dari
Yogyakarta. Di samping itu, Museum Kerajaan di Leiden memiliki beberapa fragmen
yang indah. Selama abad ke-19, gaya wayang beber itu, dengan tokoh – tokohnya yang
digambarkan seperti dalam wayang kulit, digunakan kembali oleh para seniman di
kraton – kraton Jawa Tengah, dalam lukisan dekoratif, atau lebih serin dalam
gambar – gambar yang dimaksudkan sebagai ilustrasi pakem wayang. Gambar –
gambar yang memeriahkan naskah – naskah dan yang disalin dalam karya – karya cetakan
pertama itu memberikan suatu gambaran mengenai apa yang disebut lukisan Jawa
dari masa pra-Barat, yang agaknya lebih bagus daripada lukisan Bali
tradisional. Yang disebut belakangan itu bertahan hidup hingga sekarang, tetapi
memperlihatkan satu gaya khas, yang cukup nyata berbeda.
Artikel ini juga dimuat di: https://www.kompasiana.com/wulanayu/60273bf6d541df59f65bea92/seni-lukis-hindia-belanda-sebuah-cuplikan-nusa-jawa-silang-budaya
No comments:
Post a Comment