Menu

Sunday, 7 February 2021

Karakter Moral Masyarakat Jawa : Sebuah Catatan Dalam History of Java

 


Masyarakat Jawa banyak dituliskan dalam berbagai catatan asing, mulai dari Suma Oriental  hingga History of Java. Sebagai seorang Jawa setengah Madura tetapi lebih condong ke bagian Jawa, saya pribadi sangat tertarik dengan tulisan – tulisan tersebut. Seperti kata pepatah, seseorang tidak akan bisa melihat dahinya sendiri. Seperti apa diri kita, orang lain yang bisa melihat dan menilai. Tentu saja, sebelum cermin ditemukan. Dalam coretan singkat ini, saya akan mengajak kalian semua untuk melihat bagaimana karakter Masyarakat Jawa dilihat oleh orang luar, dalam hal ini dilihat oleh seorang Thomas Stamford Raffles.

***

Masyarakat Jawa sebenarnya penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas. Dalam hubungan domestik, mereka baik, lembut, kasih sayang dan penuh perhatian. Dalam hubungan dengan masyarakat umum, mereka orang yang patuh, jujur dan beriman, memperlihatkan sikap bijaksana, jujur, jelas dalam berdagang dan berterus terang. Leterusterangan mereka terlihat pada pengakuan yang jelas saat disidang sebagai tahanan, tanpa berpura – pura atau berdalih, tentang semua hal yang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan, dan bahkan menambahkan informasi tentang beberapa hal yang tidak terdapat dalam bukti. Meskipun demikian, hal ini bisa saja diakibatkan karena adanya siksaan yang telah dialami sebelumnya, tapi tidak selalu begitu.

Meskipun tidak kecanduan hingga berlebihan, dan karena adanya pembawaan yang tenang, orang Jawa pada umumnya bebas dan royal jika dilihat dari barang – barang yang dimilikinya. Mereka jarang menimbun kekayaan dan memperlihatkan watak yang pelit. Senang pada kemewahan dan kemegahan, mereka membelanjakan uang secepat mereka mendapatkan, untuk membeli pakaian beserta pelengkapnya, membeli kuda, barang – barang untuk hiasan dan sebagainya. Tapi mereka memiliki sifat yang tidak selalu dikaitkan dengan cinta dan kemegahan, baik berkaitan dengan bangsa maupun individu. Mereka adalah orang yang mencintai kerapian dalam pribadi mereka, sebanyak pada kemegahan dan keindahan yang mereka kenakan.

Keramahan adalah sifat yang umum mereka miliki. Sifat ini diperintahkan oleh lembaga kuno mereka dan dilaksanakan dengan semangat dan sepenuh hati. Orang Jawa sangat sensitif terhadap sanjungan atau pemalu. Mereka sebenarnya ambisius untuk mendapatkan kekuasaan dan nama baik, tetapi penindasan nasional dan budaya pertanian telah membuat mereka tidak tertarik dengan kegagahan militer, dan kehilangan sebagian besar semangat tempur yang dimiliki nenek moyang mereka. Mereka lebih dikenal sebagai pribadi yag pasif daripada sebagai pemberani yang aktif. Penduduk Jawa mampu bertahan dalam kemiskinan dengan kesabaran daripada berusaha dengan semangat wiraswasta.

Meskipun hidup di bawah pemerintahan dimana keadilan jarang dilaksanakan secara murni dan tidak memihak, sehingga kita bisa menyaksikan orang akan menghakimi sendiri pihak lain yang berbuat salah dengan kekerasan, atau merebaknya semangat membalas dendam dan kekejamn, namun orang Jawa dalam tingkat yang tinggi, merasa asing dengan pembalasan dan lumuran darah yang tidak henti – hentinya. Satu – satunya nafsu yang bisa membuat mereka melakukan balas dendam atau pembunuhan adalah kecemburuan. Luka yang ditorehkan pada kehormatan seorang suami, yang diakibatkan oleh seseorang yang menggoda istrinya, sulit terobati, dan kejahatan seperti itu jarang termaafkan. Dan yang terjadi bagi orang – orang yang memutuskan tali pernikahan secara tiba – tiba meskipun secara sembunyi – sembunyi dan berpura – pura, biasanya tidak menjadi pusat perhatian ketika akhirnya diketahui umum. Kecil kemungkinan bagi mereka untuk memulai kemarahan atau tiba – tiba meledak dalam kemarahan, seperti yang terjadi pada bangsa – bangsa utara. Tindakan balas dendam yang dikemukanan sebagai pengecualian, dilakukan dengan kegilaan yang tidak bisa lagi ditahan, yang disebut kotoran, dimana seorang yang menderita dan tidak bahagia, akan merusak apapun tanpa pandang bulu, hingga akhirnya dia sendiri terbunuh seperti binatang buas, yang tak mungkin lagi bertahan hidup. Adalah suatu kesalahan untuk mengaggap orang Jawa gemar melakukan tindakan nekat tersebut

***

Suatu hal yang menarik untuk digaris bawahi ketika Raffles menyebutkan bahwa masyarakat Jawa kehilangan semangat tempur yang dimiliki oleh nenek moyang mereka. Pembahasan mengenai hal ini nantinya tidak akan bisa terlepas dari deretan peristiwa yag mengakibatkan Pulau Jawa dikuasai oleh bangsa Barat sedikit demi sedikit. Dan sangat mungkin juga, masuknya budaya bangsa asing ke lingkup keraton – keraton pada waktu itu. Ya, masuknya budaya barat dalam lingup keraton, secara tidak langsung akan mempengaruhi persepsi masyarakat tentang apa itu bangsa kulit putih. Bukan lagi sebuah simbol “penjajahan”, tetapi telah bermaifestasi sebagai simbol elit, modern, dan kemajuan sebuah peradaban.

Hal lainnya yang bisa kita jadikan pelajaran adalah sifat konsumtif dan perilaku hedonis, Dari catatan ini, ada sebuah tamparan bagi kita semua, utamanya saya, tentang sifat konsumtif dan hedonis. Entah sifat ini tersimpan dalam DNA yang kemudian diwariskan secara turun temurun atau bagaimana, tetapi masyarakat Jawa memang rata – rata konsumtif da memiliki gaya hidup hedon. Menjelang perayaan hari – hari tertentu misalnya, masyarakat Jawa pada umumnya, terbiasa untuk membeli satu set baju baru- meskipun dalam lemari sudah ada setumpuk pakaian yang jarang dipakai-, terbiasa untuk menyelenggarakan perayaan – perayaan dengan luar biasa meriah –meskipun dengan biaya diatas kemampuan--, terbiasa untuk menyesuaikan diri dengan standar lingkungan –demi memenuhi sebuah kalimat yang berbunyi “memantaskan diri’-. Dalam sudut pikiran saya, sempat terlintas bahwa perilaku ini memang sengaja dibudayakan. Mungkin, untuk menciptakan sebuah pasar dimana daya beli masyarakatnya tinggi. Atau justru ini menjadi sebuah akibat dari posisi Pulau Jawa yang berada di jalur perdagangan dunia sejak era – era terdahulu.

Dan sebuah kalimat yang berbunyi “pemerintahan dimana keadilan jarang dilaksanakan secara murni dan tidak memihak”, pada akhirnya menjadi sebuah titik harapan bagi saya. Harapan supaya kalimat singkat ini dibaca oleh para pemegang keadilan. Supaya digunakan sebagai sebuah cermin, apakah Indonesia yang sekarang, sudah berbeda atau masih sama dengan Hindia Belanda jamannya serang Thomas Stamford Raffles?

No comments:

Post a Comment