Masyarakat Jawa banyak dituliskan dalam berbagai catatan asing, mulai dari Suma Oriental hingga History of Java. Sebagai seorang Jawa setengah Madura tetapi lebih condong ke bagian Jawa, saya pribadi sangat tertarik dengan tulisan – tulisan tersebut. Seperti kata pepatah, seseorang tidak akan bisa melihat dahinya sendiri. Seperti apa diri kita, orang lain yang bisa melihat dan menilai. Tentu saja, sebelum cermin ditemukan. Dalam coretan singkat ini, saya akan mengajak kalian semua untuk melihat bagaimana karakter Masyarakat Jawa dilihat oleh orang luar, dalam hal ini dilihat oleh seorang Thomas Stamford Raffles.
***
Masyarakat Jawa sebenarnya
penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas. Dalam
hubungan domestik, mereka baik, lembut, kasih sayang dan penuh perhatian. Dalam
hubungan dengan masyarakat umum, mereka orang yang patuh, jujur dan beriman,
memperlihatkan sikap bijaksana, jujur, jelas dalam berdagang dan berterus
terang. Leterusterangan mereka terlihat pada pengakuan yang jelas saat disidang
sebagai tahanan, tanpa berpura – pura atau berdalih, tentang semua hal yang
berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan, dan bahkan menambahkan informasi
tentang beberapa hal yang tidak terdapat dalam bukti. Meskipun demikian, hal
ini bisa saja diakibatkan karena adanya siksaan yang telah dialami sebelumnya,
tapi tidak selalu begitu.
Meskipun tidak kecanduan hingga
berlebihan, dan karena adanya pembawaan yang tenang, orang Jawa pada umumnya
bebas dan royal jika dilihat dari barang – barang yang dimilikinya. Mereka
jarang menimbun kekayaan dan memperlihatkan watak yang pelit. Senang pada
kemewahan dan kemegahan, mereka membelanjakan uang secepat mereka mendapatkan,
untuk membeli pakaian beserta pelengkapnya, membeli kuda, barang – barang untuk
hiasan dan sebagainya. Tapi mereka memiliki sifat yang tidak selalu dikaitkan
dengan cinta dan kemegahan, baik berkaitan dengan bangsa maupun individu.
Mereka adalah orang yang mencintai kerapian dalam pribadi mereka, sebanyak pada
kemegahan dan keindahan yang mereka kenakan.
Keramahan adalah sifat yang umum
mereka miliki. Sifat ini diperintahkan oleh lembaga kuno mereka dan
dilaksanakan dengan semangat dan sepenuh hati. Orang Jawa sangat sensitif
terhadap sanjungan atau pemalu. Mereka sebenarnya ambisius untuk mendapatkan
kekuasaan dan nama baik, tetapi penindasan nasional dan budaya pertanian telah
membuat mereka tidak tertarik dengan kegagahan militer, dan kehilangan sebagian
besar semangat tempur yang dimiliki nenek moyang mereka. Mereka lebih dikenal
sebagai pribadi yag pasif daripada sebagai pemberani yang aktif. Penduduk Jawa
mampu bertahan dalam kemiskinan dengan kesabaran daripada berusaha dengan
semangat wiraswasta.
Meskipun hidup di bawah
pemerintahan dimana keadilan jarang dilaksanakan secara murni dan tidak
memihak, sehingga kita bisa menyaksikan orang akan menghakimi sendiri pihak
lain yang berbuat salah dengan kekerasan, atau merebaknya semangat membalas
dendam dan kekejamn, namun orang Jawa dalam tingkat yang tinggi, merasa asing
dengan pembalasan dan lumuran darah yang tidak henti – hentinya. Satu – satunya
nafsu yang bisa membuat mereka melakukan balas dendam atau pembunuhan adalah
kecemburuan. Luka yang ditorehkan pada kehormatan seorang suami, yang
diakibatkan oleh seseorang yang menggoda istrinya, sulit terobati, dan
kejahatan seperti itu jarang termaafkan. Dan yang terjadi bagi orang – orang
yang memutuskan tali pernikahan secara tiba – tiba meskipun secara sembunyi –
sembunyi dan berpura – pura, biasanya tidak menjadi pusat perhatian ketika
akhirnya diketahui umum. Kecil kemungkinan bagi mereka untuk memulai kemarahan
atau tiba – tiba meledak dalam kemarahan, seperti yang terjadi pada bangsa –
bangsa utara. Tindakan balas dendam yang dikemukanan sebagai pengecualian,
dilakukan dengan kegilaan yang tidak bisa lagi ditahan, yang disebut kotoran, dimana seorang yang menderita
dan tidak bahagia, akan merusak apapun tanpa pandang bulu, hingga akhirnya dia
sendiri terbunuh seperti binatang buas, yang tak mungkin lagi bertahan hidup.
Adalah suatu kesalahan untuk mengaggap orang Jawa gemar melakukan tindakan
nekat tersebut
***
Suatu hal yang menarik untuk digaris bawahi ketika Raffles
menyebutkan bahwa masyarakat Jawa kehilangan semangat tempur yang dimiliki oleh
nenek moyang mereka. Pembahasan mengenai hal ini nantinya tidak akan bisa
terlepas dari deretan peristiwa yag mengakibatkan Pulau Jawa dikuasai oleh bangsa
Barat sedikit demi sedikit. Dan sangat mungkin juga, masuknya budaya bangsa
asing ke lingkup keraton – keraton pada waktu itu. Ya, masuknya budaya barat
dalam lingup keraton, secara tidak langsung akan mempengaruhi persepsi
masyarakat tentang apa itu bangsa kulit putih. Bukan lagi sebuah simbol
“penjajahan”, tetapi telah bermaifestasi sebagai simbol elit, modern, dan
kemajuan sebuah peradaban.
Hal lainnya yang bisa kita
jadikan pelajaran adalah sifat konsumtif dan perilaku hedonis, Dari catatan
ini, ada sebuah tamparan bagi kita semua, utamanya saya, tentang sifat
konsumtif dan hedonis. Entah sifat ini tersimpan dalam DNA yang kemudian
diwariskan secara turun temurun atau bagaimana, tetapi masyarakat Jawa memang
rata – rata konsumtif da memiliki gaya hidup hedon. Menjelang perayaan hari –
hari tertentu misalnya, masyarakat Jawa pada umumnya, terbiasa untuk membeli
satu set baju baru- meskipun dalam lemari sudah ada setumpuk pakaian yang
jarang dipakai-, terbiasa untuk menyelenggarakan perayaan – perayaan dengan
luar biasa meriah –meskipun dengan biaya diatas kemampuan--, terbiasa untuk
menyesuaikan diri dengan standar lingkungan –demi memenuhi sebuah kalimat yang
berbunyi “memantaskan diri’-. Dalam sudut pikiran saya, sempat terlintas bahwa
perilaku ini memang sengaja dibudayakan. Mungkin, untuk menciptakan sebuah
pasar dimana daya beli masyarakatnya tinggi. Atau justru ini menjadi sebuah
akibat dari posisi Pulau Jawa yang berada di jalur perdagangan dunia sejak era
– era terdahulu.
Dan sebuah kalimat yang berbunyi
“pemerintahan dimana keadilan jarang dilaksanakan secara murni dan tidak
memihak”, pada akhirnya menjadi sebuah titik harapan bagi saya. Harapan supaya
kalimat singkat ini dibaca oleh para pemegang keadilan. Supaya digunakan
sebagai sebuah cermin, apakah Indonesia yang sekarang, sudah berbeda atau masih
sama dengan Hindia Belanda jamannya serang Thomas Stamford Raffles?
No comments:
Post a Comment